Selasa, 20 Desember 2011
Versi
Perasaan sedih karena kekalahan dan segala peristiwa yang terjadi di dalam lapangan. Ya, bermain dengan 9 pemain pasti akan menjadi berita. Beberapa teman-teman media sudah ancang-ancang meminta quote dari coach Iwan terkait pertandingan. Saya menunggu hingga kira-kira post-match press conference usai (estimasi jam 21.00) dan saya akan menghubungi coach.
23:30
Mendapat kabar tidak sedap. Saya tidak akan bercerita lagi apa kejadian itu. Berbagai BBM dan panggilan masuk mulai berdatangan, juga di Twitter. Semua bertanya ada apa sebenarnya. Saya menghubungi berbagai pihak di Palembang. Lemas rasanya. Jujur, saya langsung menangis. Bukan karena siapa yang salah, bukan karena siapa yang jadi korban. Tapi, kenapa harus ada kejadian ini? Saya merenung. Hingga pagi saya tidak dapat tidur memikirkan harus bagaimana menghadapi berbagai pertanyaan.
19 Desember 2011
Seperti tak berhenti, pertanyaan terus mengalir. Semua jenis pertanyaan sama, semua ingin tahu bagaimana kronologisnya, dan lain-lain. Sungguh, hari itu melelahkan sekali. Dan akhirnya, Ketua Umum memberikan pernyataan tersebut. Tapi, semua seperti tidak puas, dan terus bertanya.
20 Desember 2011
Frekuensi pertanyaan relatif lebih sedikit. Ada yang memohon meminta komentar, baik saya maupun yang terlibat. Ada yang memanfaatkan ini sebagai kesempatan menjatuhkan citra. Saya mulai tidak peduli. Kemarin, masih ada rasa marah dan kesal. Namun, akhirnya terkikis oleh rasa lelah. Sungguh lelah. Semaksimal mungkin pertanyaan itu saya jawab.
Dan..
Hari ini. 21 Desember 2011.
Semua mungkin masih bertanya. Kronologis, kelanjutan, siapa pelaku, siapa korban. Semua masih ada yang bercerita. Tapi satu hal. Semuanya adalah VERSI. Ketika siapapun bertanya kepada saya, saya selalu menekankan pada kata VERSI. Setiap orang berhak memiliki persepsi dalam memandang sebuah peristiwa. Persepsi dan VERSI yang berbeda. Lantas, sampai kapan? Jika ada dua VERSI yang tak pernah bertemu karena dua persepsi individu yang berbeda, maka hanya akan menjadi bara. Ya, semua turut andil. Semua punya hak. Tapi semua juga punya kewajiban untuk tidak menjadikan api.
Dan saya memutuskan per hari ini, saya tidak mau menjadikan ini bara. Saya mau ini jadi proses belajar. Untuk saya dan untuk siapapun.
Jadi, jika saya (masih) ditanya tentang itu, jawaban VERSI saya adalah sebuah senyuman tulus saja. Semoga cukup menjawab. :)
Jakarta, saat Jakmania berusia 14 tahun 2 hari.
Selasa, 08 November 2011
Kembalikan Persija kami..
Rabu, 19 Oktober 2011
Sebuah Pilihan
Ya, semalam saya berkesempatan bertemu dengan coach RD. Bukan sengaja ingin wawancara (apalagi sore sebelumnya, hasil drawing yang 'mengejutkan' itu ditayangkan). Dan bukan sengaja ingin bertanya tentang kekisruhan sepakbola sekarang. Ah, sia-sia jika bertemu seorang coach RD dan hanya membicarakan hal yang menurut saya makin lama makin membosankan itu.
Namun, yang namanya suka sepakbola, pasti obrolannya tak jauh-jauh dari situ. Sebenarnya, saya malah lebih ingin ngobrol tentang Om Hendarto, salah satu tokoh inspirasional bagi beliau dan bagi saya tentunya. Ya, mungkin bagi sebagian pecinta Persija, ada yang pernah mendengar nama Sugih Hendarto. Beliau adalah salah satu sahabat (alm.) Wiel Coerver dan sosok yang disegani banyak orang. Om Hendarto-lah yang bisa membuat seorang coach RD terharu.
Obrolan akhirnya sampai ke tentang substansi U23. Para pemain mulai curhat ke coach tentang kisruh kompetisi. Mereka bingung, selesai SEA Games harus berbuat apa. Rataan umur mereka hanya tersisa 1 tahun lagi untuk tetap bisa di U23 dan karena itu mereka harus tetap mengasah skill dengan bermain di klub, yang tentunya juga dengan kompetisi yang layak. Dan, memilih liga yang mana menjadi sebuah masalah yang lain lagi.
Hidup akan selalu dihadapi pada pilihan. Lebih tepatnya, memilih dan dipilih. Ingin jadi pemain bola, ingin bergabung dengan klub yang mana, ingin melatih dimana, dipilih jadi posisi apa, semua itu pilihan. Tapi, obrolan semalam membuat saya bertanya: "Apakah menjadi seorang pemain timnas itu pilihan?"
Ya, semua orang tahu sedang ada masalah apa dengan seorang pemain. Saya tak akan menyebut siapa dan apa masalahnya, anda bisa temukan sendiri di berbagai link berita. Tapi, ketika masalah itu kemudian masuk ke sebuah ranah social media, kemudian ada opini yang terbentuk seakan ada yang merasa tidak mendapat hak.
Seusai membela Qatar, beberapa pemain timnas senior dipanggil untuk membela U23 dengan toleransi diberikan hari libur terlebih dahulu untuk recovery. Namun, ada beberapa pemain yang inisiatif langsung datang tanpa istirahat sedikit pun, bahkan bersemangat menghubungi coach.
Dan ada 1 orang yang hilang... Yang dihubungi tak pernah dibalas, yang di-BBM hanya di-read saja, yang di-SMS juga tak pernah membalas. PSSI sudah mengancam mencoret namanya, lalu coach RD tetap memberikan kesempatan kedua hingga uji coba lawan Persiba Bantul.
Dan, akhirnya ia kemudian menghubungi.. Kronologisnya: minta maaf karena ada syuting 2 hari, kemudian mengantar keluarga karena sakit, dan baru bisa bergabung setelah tanggal 23 dengan kalimat pembuka: "Kalo coach butuh saya...."
"Saya butuh dia, Viola. Karena bagi saya, setiap pemain dapat hak untuk dipanggil. Mengenai nantinya dia kurang bagus, ada 5 pelatih yang akan menilai. Jadi, adil kan seorang pemain dicoret bukan karena tidak dipanggil."
"Tapi, menurut saya, ini panggilan bermain di timnas. Mengapa timnas yang jadi harus menawar? Ini bukan masalah butuh atau tidak lagi.."
Saya merenung. Dia bilang dia sendirian datang kesini juga dengan istrinya, lalu menjadi WNI. Bukankah ia punya keluarga? Kakak, adik ipar, om, atau siapapun yang saya juga pernah lihat di infotainment?
"Kalau coach di posisi saya, bagaimana?"
"Kamu belum punya anak. Ketika anak saya yang pertama lahir dulu, saya ada di Thailand membela timnas."
Dan pemain itu terdiam dengan balasan coach.
Namun, akhirnya ada alasan yang lain lagi..
"Saya juga manusia, Viola. Ferdinand sekarang istrinya sedang hamil 9 bulan dan sebentar lagi melahirkan. Saya pasti akan suruh dia pulang untuk kembali lagi.. Saya tidak akan mungkin setega itu.."
Saya mengangguk yakin. "Saya percaya, coach."
"Sebenarnya, dia anak yang baik..."
Kami berdua pun tersenyum.
Dan saya tetap bertanya..
Jadi, apakah menjadi pemain timnas itu sebuah pilihan?
Di sebuah mal di Senayan, 19 Oktober 2011.
Jumat, 14 Oktober 2011
Sabtu, 10 September 2011
Guru dan Dosen
Saya tak ingin memberikan komentar lagi mengenai siapa yang lebih baik, karena semua sangat relatif dan tak ada skala indikatornya. Dan setiap orang memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Dan saya selalu bilang SETIAP ORANG BERHAK BERPENDAPAT APA SAJA TENTANG TIMNAS. Siapapun, bahkan bukan WNI sekalipun. Tapi, di dunia komunikasi, setidaknya menurut Laswell, ada 5 komponen yang penting yaitu: komunikator, message, channel dan receiver (komunikan). Jadi, jika kelima komponen itu akan mempengaruhi bagaimana pesan (pendapat) kita dipersepsikan.
Yang menarik, karena semua merasa memiliki hak berpendapat, terkadang diskusi yang ada malah seperti 'tidak nyambung'. Ketika Riedl komen tentang timnas, ada yang pro dan ada yang kontra. Perdebatan mulai terjadi, dan antara satu sama lain banyak berselisih paham karena beda permasalahannya. Ada yang mempermasalahkan sang komunikator (Riedl), ada yang berargumentasi tentang isi pesan (komentarnya). Pada akhirnya, perdebatan hanya akan membuat lelah karena tak ada yang mau mengalah, padahal sudah gak nyambung dari awal.
Ketika saya ngobrol dengan salah satu teman jurnalis di sebuah media online, saya pada akhirnya menemukan sebuah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan perbedaan Riedl dan Wim. Yaitu, perbedaan antara guru dan dosen.
Definisi guru adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. (Wikipedia)

Hal yang sama saya temukan pada sosok Riedl. Ketika ia masuk dalam timnas, kualitas pemain jauh dari espektasinya. Namun, ia mampu mendidik para pemain untuk menciptakan sebuah dasar permainan sebuah tim. Di luar hal teknis, ia juga mampu menciptakan suasana yang kondusif agar para pemain tetap fokus pada tugasnya. Walaupun galak dan ketat aturan, nyatanya para pemain tidak merasa tertekan dan selalu berbaris masuk ke lapangan dengan kepala tegak. Sesuatu yang mungkin dianggap hal kecil bagi sebagian orang, tapi bagi saya sangat signifikan.
Lalu, apa dan siapa dosen itu? Definisi dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (Wikipedia)

Sosok inilah yang saya lihat dari seorang Wim. Wim bukanlah seorang guru karena ia memiliki espektasi para pemain seperti mahasiswa, yang seharusnya sudah mengetahui dasar permainan dan sudah 'dewasa' dalam melaksanakan tugas. Dan ketika hasil yang didapat jauh dari yang diharapkan oleh sang dosen (Wim), maka mahasiswa yang dianggap kurang berhasil.
Saya tidak ingin membandingkan siapa yang lebih baik atau mendiskreditkan antara guru dan dosen. Namun, bagi saya pribadi, tak semua orang bisa/mampu menjadi guru. Jiwa guru yang sebenarnya adalah mendidik. Sedangkan untuk jadi dosen, dibutuhkan syarat-syarat profesional. Itulah perbedaannya bagi saya.
Dan, jika boleh saya berpendapat..
Saya jauh lebih respek pada seorang guru...
Jakarta, 10 September 2011
ketika baru saja selesai berkomunikasi dengan seorang guru kehidupan dan sepakbola, Om Sugih Hendarto..
Minggu, 17 Juli 2011
431 hari bersama Riedl..

Siapa yang tak mengenal Alfred Riedl? Lelaki 61 tahun yang dikenal dengan ketegasan itu kini harus meninggalkan timnas per 13 Juli 2011 lalu..
Ya, semua sudah lelah dan muak dengan pertanyaan kenapa Riedl dipecat. Dan orang awam pun juga menyadari, Riedl menjadi korban dari semua permasalahan dua kubu yang merasa besar dan memiliki andil di persepakbolaan Indonesia.
Ada satu quote yang dilontarkan Riedl setiap dikerubungi media, yaitu "You Need Me?" Dulu, media menganggap Riedl termasuk sosok yang galak. Dan sekarang, kami benar-benar kehilangan dia. Sosok yang tegas, bukan galak. Sosok yang mencintai sepakbola murni tanpa politik, bukan bangga jadi GM timnas. Sosok yang melihat pemain dengan objektif dan fair.
Ada yang bilang, pemecatannya resmi oleh Ketum PSSI. Tapi, pemecatan bukan kata yang tepat, karena katanya PSSI juga tak pernah mengontraknya kan?
Ada yang bilang, pemberhentiannya karena tak mau bekerjasama dengan pihak liga sebelah. Nah, ini lebih tidak profesional lagi alasannya, hai para orang yang mengaku PROFESIONAL.
Kalian boleh bangga jadi Ketua Umum PSSI, humas PSSI, jadi media officer timnas, jadi GM timnas, jadi jabatan apapun yang kalian rasa bisa menambah follower di Twitter.
Tapi, kalian tidak akan pernah bisa membeli hati kami. Kalian tidak bisa membeli cinta kami dan Riedl pada Garuda.
Terima kasih, Riedl.
Untuk kembali mengingatkan kami bahwa garuda kami memang luar biasa...
Untuk nilai-nilai ketegasan dan kerja keras...
Untuk 431 hari yang mengagumkan...
07 Mei 2010 - 13 Juli 2011
Dengan penuh cinta,
salah satu suporter Indonesia yang akan selalu berkata "Yes, We Neeed You, Riedl."
#STOPPOLITISASISEPAKBOLAINDONESIA
Senin, 27 Juni 2011
PERSIJA vs PSPS: 3 gol untuk 3 poin peringkat 3

Akhirnya ISL 2010/2011 selesai juga...
Setelah berjalan dengan penuh lika-liku, bahkan mendapat 'tamu tak diundang' dengan munculnya sebuah liga yang lain, namun tetap pada akhirnya, ISL mampu bertahan hingga selesai.
Berbagai kisruh di tubuh PSSI, munculnya berbagai figur baru yang merasa penting dalam persepakbolaan kita, nyatanya tak mampu membuat otak kami para suporter menjadi saru. Kami mencintai klub kami, itulah salah satu bentuk nyata, yang mungkin dipandang kecil dan nyaris tak menghasilkan apa-apa. Tapi, kami para suporter, tak punya uang haram yang ingin menyuap kalian pemegang hak suara. Kami tak punya hak suara yang akan membebani kami untuk memilih kandidat yang terus bersandiwara dengan uang. Ini bentuk cinta kami, kepada klub kami, kepada tim kami. Dan tim kami adalah bagian krusial dari persepakbolaan Indonesia. Klub kami terus ada walaupun ketua PSSI berganti periode. Klub kami selalu ada di hati, walaupun kami tahu, para pengurus pun tak becus.
Menilik pada Persija musim ini... Saya bukan orang yang tepat untuk menilai performance karena semua adalah hasil kerja keras maksimal tim dan pelatih. Sudah hampir setahun, saya agak menarik diri dari Persija, karena semakin kisruh dan penuh ketidak jelasan. Namun, setiap pertandingan di Jakarta, saya selalu hadir, walaupun hanya memberi kontribusi kecil dengan membantu pers saat peliputan dan melihat pertandingan.
Akhir-akhir ini, saya sering ngobrol dengan coach RD. Kesimpulan yang saya ambil adalah tidak boleh hanya menyalahkan performance tim, pemain dan pelatih, jika sebuah klub tidak bisa juara. Manajemen klub menjadi salah satu kunci kesuksesan untuk meraih goal tersebut. Berkaitan dengan satu mata kuliah yang sedang saya ambil tentang organisasi, ada 4 jenis organisasi: clan, adhocracy, hierarchy dan market culture. Penjelasannya, clan mengedepankan kekeluargaan, adhocracy mengutamakan kreatifitas, hierarchy mengedepankan perintah dan otoritas sedangkan market lebih mementingkan kompetisi pasar.
Saya melihat klub-klub di liga Indonesia yang memiliki culture clan-lah yang bisa memenangi kompetisi. Ada beberapa cerita yang saya dengar, bahkan ada yang saya lihat sendiri, bagaimana manajemen pengurus dan tim bisa sangat kompak dan kekeluargaan, terbuka satu sama lain, dan akhirnya bisa menang. Ya, saya tidak menyebut itu satu-satunya, tapi salah satunya. Ketika manajemen tim lancar, pengurus memperhatikan tim, maka tim bisa fokus untuk hal-hal dalam lapangan.
Tentang Persija, lagi-lagi yang perlu diberi nilai merah adalah Panpel. Ya, memang bermain di ibukota Jakarta banyak hambatannya, misalnya yang paling krusial adalah perijinan. Namun, jika memang tidak diijinkan dengan alasan keramaian dan keamanan, ada beberapa event yang jauh lebih besar coverage-nya juga diperbolehkan berlangsung di GBK... Jadi? Ya, UUD (Ujung-Ujungnya Duit).

Ada beberapa cerita mengenai perjuangan perijinan Persija kemarin. Ada yang bilang bahwa kepolisian sudah diberi 'uang keamanan' 90 juta rupiah ke Polda. Namun, kesalahannya adalah di tingkatan Polres dan Polsek tidak diberi 'jatah' sehingga ijin juga tak bisa keluar. Polda hanya bisa memberi surat rekomendasi, selebihnya tergantung Polres dan Polsek. Ada yang bilang, gara-gara giginya hilang saat menghalau massa Rojali (Rombongan Jakmania Liar), jadi tidak diberi ijin. Dari klaim pemerintah, ada yang bilang karena Fauzi Bowo-lah yang bertitah beri Persija ijin dalam rangka ulang tahun Jakarta, maka ijin langsung keluar.
Entahlah mana yang benar. Dari dulu hingga sekarang, ada yang tak pernah berubah. Semua orang selalu merasa penting berkontribusi dalam Persija. Padahal, kami yang suporter, tak pernah merasa dan meng-klaim diri kami penting, tapi kami selalu ada untuk klub kami, Persija Jakarta.
Pada akhirnya, perkataan coach RD yang akan selalu saya ingat di akhir musim ini:
"Ini (peringkat 3) yang terbaik yang bisa kami berikan untuk Persija, dengan hasil kerja keras kita sendiri."
3 gol, 3 poin terakhir untuk peringkat 3
Selasa, 29 Maret 2011
Jangan Rebut Agama Kami!
Saya hanya melengos. Oh Tuhan, ini sudah keterlaluan.
Entah media yang berlebihan atau memang sepakbola sudah sah menjadi agama.
Agama dimana semua orang merasa berhak membelanya jika agama itu dinodai.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman dan saya bilang bahwa bagi saya agama itu seperti seks. Artinya, saya tidak mau mengumbar kehidupan beragama saya sama halnya dengan saya nantinya juga tidak mau mengumbar kehidupan seks saya.
Ibu saya masih asik menonton salah satu stasiun TV yang sedang mewawancarai petinggi yang perutnya rata-rata buncit itu..
Ketika ibu saya bertanya lebih baik yang mana, saya menggeleng.
Gak ada yang lebih baik, ma.
Kenapa?
Gak ada satupun dari mereka yang pernah duduk di tribun. Mereka selalu hanya ingin di VVIP atau kursi pejabat. Jadi, mereka belum se-'religius' itu dengan sepakbola.
Hai kalian para petinggi adu gengsi..
Rasakanlah duduk di singgasana kami, maka kalian nanti akan malu sendiri..
Selasa, 15 Maret 2011
Rabu, 16 Februari 2011
Persija vs Arema (9/1/2011): Kembali Ke Lokal

tulisan ini pernah dimuat di Indonesian Football Diary ENJOY!!
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Setelah selama kurang lebih sebulan publik sepakbola lokal terpaksa ‘puasa’ dan terfokus pada euphoria timnas, liga sepakbola lokal di Jakarta kembali bergeliat dengan sebuah partai besar: PERSIJA VS AREMA.
Jujur saja, saya sangat bersemangat pergi ke GBK di hari Minggu ini. Mungkin karena saya rindu dengan atmosfer supporter dan ‘kemistikan’nya itu. Saya rindu ‘penyembahan’ mereka, para Jakmania dan Aremania. Saya bisa bilang ketika di AFF atau pertandingan internasional, suasananya berbeda. Saya pribadi lebih menikmati liga lokal ketimbang saat timnas bermain. Bukan berarti saya tidak cinta timnas, tapi atmosfernya memang berbeda. Dan saya benar-benar bersemangat hari ini.
Seperti biasa, setiba di GBK, saya langsung menuju kantor pers, menyiapkan akreditasi untuk wartawan, mengambil line-up pemain dan mempersiapkan ruangan untuk press conference. Dan begitu saya sampai, saya langsung tersenyum jahil melihat spanduk di depan kantor PSSI. Herannya, banyak orang yang lalu lalang dan melihat spanduk tersebut. Namun, tak ada yang bertindak anarkis. Mungkin, semua orang sudah apatis atau hanya geleng-geleng kepala. Saya pun hanya sekilas melihat dan langsung keliling menuju ruang wasit untuk mengambil line up dan bertemu tim Arema. *Belakangan saya baru melihat spanduk tersebut disobek oleh sekelompok orang pada saat pertandingan sudah selesai.*
Tak sabar rasanya bertemu media officer Arema, Mas Darmaji. Dia merupakan salah satu sahabat saya yang luar biasa, mungkin salah satu media officer terbaik di Indonesia. Beliau dekat dengan wartawan dan selalu berusaha mengakomodir semua kebutuhan wartawan dari Malang. Sebelum kick off, dia sempat bilang mau mengobrol dengan saya. Saya gak berani janji, bukan sok sibuk tapi tiap pertandingan, saya malah tak bisa leluasa menonton atau punya waktu yang santai. Nah, saat ‘santai’ kami justru pada saat kick off sudah dimulai. Di pinggir lapangan, sambil menemaninya mengambil foto-foto Aremania yang sedang berdansa, dia mulai cengar-cengir ke saya. Topik kami selalu sama, tentang sepakbola Indonesia, tentang Persija dan Arema. Kami berdua mungkin memang bekerja di sebuah klub yang berada dalam liga yang sama. Dan jujur saja, banyak pihak yang ingin memanfaatkan kesempatan ini, apalagi situasi sekarang sedang ‘panas-panas’nya. Dan saya selalu meledek Arema bagai kembang desa yang sedang diperebutkan oleh banyak pemuda.
Siapa yang tak kenal Arema? Klub yang bahkan sudah dianggap seperti ‘agama’ di Malang ini merupakan salah satu daya tarik bagi setiap pihak yang ingin membuat sebuah kompetisi atau liga. Saya tak mau menyebut pihak mana, karena saya dan Mas Darmaji sejujurnya sangat netral. Kami lebih terfokus bagaimana bekerja seprofesional mungkin dan tak mengecewakan supporter. Persija dan Arema bisa menjadi besar karena dari pendukung, bukan hanya dari nilai materiil semata. Untuk apa punya klub kaya jika tak ada penggemar? Dan kami berdua memiliki pemikiran sama bahwa penggemar tak bisa tergantikan oleh uang. Karena disanalah terletak loyalitas. Uang belum tentu bisa menggantikan itu semua.
Dan, tiba saat mengambil line up, saya kecewa. Ternyata, line up pemain Arema bertuliskan tangan! Hal ini jauh berbeda jika pertandingan timnas atau bahkan jika saya bertandang ke Arema. Badan saya langsung lemas karena pasti teman-teman pers mulai meledek lagi, “Gimana sih nih panpel Persija?” Tapi, ya sudahlah. Yang penting, ADA. Kinerja panpel Persija memang selalu mendapat kritikan tajam. Tak sedikit orang yang complain kepada saya namun saya hanya bisa berkata saya bukan siapa-siapa disini. Saya hanya pekerja, belum mencapai level decision maker dalam panitia. Saya pun menyadari kondisi yang ada di dalam internal Persija. Jadi, ya serba salah. Sedih dan miris jika melihat keadaan seperti ini, klub selegenda Persija dan diurus kurang professional. Ya, ini dari kacamata saya pribadi yang terlibat di dalamnya.
Sebenarnya, permasalahan panpel di hampir seluruh klub di Indonesia itu sama. Dominasi senior yang masih berpikiran konservatif dan dengan zona nyamannya membuat mereka menciptakan sejuta alasan untuk tidak taat peraturan. Saya belajar Manual Liga Indonesia (masih mencari manual LPI nih, ada yang punya?). Manual Liga Indonesia yang kita anut mengacu pada UEFA. Tentunya dengan beberapa penyesuaian di Indonesia. Dan dimana-mana, yang namanya peraturan atau Manual pastinya ideal dan diciptakan sesempurna mungkin. Nah, uniknya, sebagian besar orang yang diamanatkan menjadi panitia penyelenggara pertandingan selalu merasa Manual adalah sebuah beban dan dianggap berlebihan. Sehingga mereka merasa malas dan dalihnya biasanya: Tak ada biaya. Itulah alasan pamungkas dan akhirnya banyak yang merugikan tim, baik tim tamu maupun tim tuan rumah.
Dan, akhirnya ketika sesi press conference, ada hal yang unik (lagi). Coach Arema, Miroslav Janu, benar-benar menunjukkan ke-BETE-annya dengan sengaja ngomong gak jelas. Sebagian besar wartawan mengeluh tidak mendengar dan kurang jelas, namun ia tetap saja berceloteh. Jelas sekali dia kecewa dengan pemainnya. Saya pun terpaksa mencatat dengan detil untuk bahan wartawan nantinya karena saya duduk pas di sebelahnya. Namun, saya sempat terhenti pada satu kalimatnya yang lirih. “Seandainya sebelum turun minum belum ada gol, kami pasti menang,” ucapnya sambil menunduk lesu.
Dan saat itulah saya baru sadar. Hanya tim yang bermental yang besar-lah yang bisa memenangkan pertandingan. Itulah sepakbola.
Senin, 14 Februari 2011
Arema vs Persiwa: Penutup Manis di Putaran Pertama

Kamis, 10 Februari 2011. Begitu menginjak bandara Abdurahman Saleh, langsung ada tweet yang masuk ke Blackberry saya. “Selamat datang di Bumi Arema” Ya, kembali ke Malang selalu membuat hati senang, apalagi jika Arema sedang berlaga. Banyak orang yang saya kenal dan pernah merasakan atmosfir Stadion Kanjuruhan secara langsung selalu merasa rindu untuk kembali kesini.
Kebetulan, saya satu pesawat dengan rombongan ANTEVE yang akan Live. Mau tak mau, saya juga harus pergi ke Kanjuruhan lebih awal karena mereka juga harus mempersiapkan peralatan untuk siaran. Selesai berbenah, waktu menunjukkan pukul 12.00. Kick-off pk. 15.30. Dan begitu masuk gerbang Kanjuruhan, saya tertegun. Stadion sudah hampir penuh. Bahkan, beberapa ada yang mengaku sudah standby dari jam 10 duduk di dalam stadion demi mendapatkan spot terbaik menonton tim Singo Edan. Sayangnya, ada Aremania yang jatuh dari tribun karena pingsan dan harus ditandu oleh medis. Katanya, karena sudah menunggu dari pagi bahkan belum sempat makan.
Pertandingan melawan Persiwa Wamena ini merupakan pertandingan terakhir bagi Arema di putaran pertama Indonesia Super League. Itulah mengapa Aremania tetap bersemangat memenuhi stadion walaupun jatuh pada hari Kamis. Tapi, di Malang, Arema sudah menjadi sebuah ‘agama’. “Mau hari apa aja disini pasti penuh,” ujar salah satu pedagang syal Arema. Dan saya langsung membayangkan bagaimana nanti saat AFC Champions League. Pasti antusiasmenya akan lebih membludak lagi.
Arema memang selalu menjadi teladan kesuksesan klub di Indonesia. Baik dari segi manajemen, panitia pertandingan bahkan hingga supporter. Tradisi mengantre pada saat membeli tiket selalu membuat saya kagum. Mereka selalu rela membeli tiket berapapun harganya demi melihat Arema berlaga. Tiket yang paling murah seharga Rp. 25.000 dan selalu sold out. Sebagai apresiasi, panpel dan sponsor pun juga menggelar undian berhadiah motor dari nomor potongan tiket bagi Aremania yang beruntung. Ini juga menjadi pemacu Aremania untuk membeli tiket asli dan lebih menghargai tiket yang sudah dibeli, tidak hanya dibuang begitu saja.
Tentunya saya tidak melewatkan mengobrol dengan Mas Darmaji, media officer Arema. Singo Edan akan dipadati dengan jadwal AFC Champions League dan ISL. Tanggal 27 Februari, mereka akan langsung terbang ke Osaka, Jepang. Tanggal 16 Maret akan menjamu Jeonbuk. Berdasarkan pada pengalaman klub-klub lain yang pernah mewakili Indonesia di ajang internasional tersebut, padatnya jadwal dan kelelahan fisik merupakan faktor utama kurang maksimalnya tim. Lain halnya dengan klub Jepang, dimana mereka mensiasati dengan menurunkan pemain-pemain muda. Regenerasi disana memang berjalan, jadi gap antara pemain cadangan maupun inti tidak terlalu jauh dan selalu dibiasakan untuk tetap sinergi. Lain halnya dengan klub di Indonesia yang sering mengandalkan beberapa pemain hingga ‘titik darah penghabisan’. Apalagi Arema yang tergabung dalam Grup G, harus berhadapan dengan tim kuat seperti Jeonbuk dan Cerezo Osaka.
Hasil akhir 4-0 menjadi penutup manis untuk Arema di putaran pertama ini. Finish di posisi runner-up, Arema hanya terpaut selisih gol dengan Persija. Namun, kemenangan besar di musim ini membuat publik Aremania berpesta. Apalagi riwayat kalah saat bertemu Persiwa pada Inter Island lalu seakan sukses membalaskan dendam. Pemain terbaik yang dipilih adalah Achmad Kurniawan. Dan yang paling membahagiakan adalah gol perdana oleh salah satu pemain timnas kebanggaan kita, Bustomi. JSeusai pertandingan, seluruh tim Arema selebrasi dengan mengelilingi lapangan, mengucapkan terima kasih kepada seluruh Aremania. Bagi saya, itu merupakan momen yang indah dan penting karena mempererat batin bagi pemain dan supporter. Semoga banyak klub yang bisa mencontohnya. J
Yang terakhir, berbagai spanduk Aremania juga selalu menarik perhatian saya. Aneka disain spanduk yang kreatif dan berukuran besar disusun rapi menghiasi sisi-sisi tribun. Namun ada satu yang menarik, yang mengingatkan saya pada spanduk di Inggris ‘This is Anfield’ namun yang ini bertuliskan “THIS IS AREMA”.
Salute Arema! Salute Aremania! Bergemalah selalu nyanyian Salam Satu Jiwa di bumi Kanjuruhan….
Senin, 07 Februari 2011
Welcome!
Saya hanya seorang penganut agama.
Agama itu bernama SEPAKBOLA.
Rumah ibadahnya bernama STADION.
Dan kami jemaatnya kerap dijuluki SUPORTER.
Lewat cerita ini, ijinkan saya seorang jemaat bercerita..
Sedikit tentang agama saya.
Sedikit tentang pengetahuan saya.
Sedikit tentang rumah ibadah saya.
Dan sedikit tentang saudara seiman saya dimanapun mereka berada.
Seperti yang pernah diungkapkan seorang Hugo Sanchez..
” Whoever invented football should be worshipped as a God.”