
tulisan ini pernah dimuat di Indonesian Football Diary ENJOY!!
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Setelah selama kurang lebih sebulan publik sepakbola lokal terpaksa ‘puasa’ dan terfokus pada euphoria timnas, liga sepakbola lokal di Jakarta kembali bergeliat dengan sebuah partai besar: PERSIJA VS AREMA.
Jujur saja, saya sangat bersemangat pergi ke GBK di hari Minggu ini. Mungkin karena saya rindu dengan atmosfer supporter dan ‘kemistikan’nya itu. Saya rindu ‘penyembahan’ mereka, para Jakmania dan Aremania. Saya bisa bilang ketika di AFF atau pertandingan internasional, suasananya berbeda. Saya pribadi lebih menikmati liga lokal ketimbang saat timnas bermain. Bukan berarti saya tidak cinta timnas, tapi atmosfernya memang berbeda. Dan saya benar-benar bersemangat hari ini.
Seperti biasa, setiba di GBK, saya langsung menuju kantor pers, menyiapkan akreditasi untuk wartawan, mengambil line-up pemain dan mempersiapkan ruangan untuk press conference. Dan begitu saya sampai, saya langsung tersenyum jahil melihat spanduk di depan kantor PSSI. Herannya, banyak orang yang lalu lalang dan melihat spanduk tersebut. Namun, tak ada yang bertindak anarkis. Mungkin, semua orang sudah apatis atau hanya geleng-geleng kepala. Saya pun hanya sekilas melihat dan langsung keliling menuju ruang wasit untuk mengambil line up dan bertemu tim Arema. *Belakangan saya baru melihat spanduk tersebut disobek oleh sekelompok orang pada saat pertandingan sudah selesai.*
Tak sabar rasanya bertemu media officer Arema, Mas Darmaji. Dia merupakan salah satu sahabat saya yang luar biasa, mungkin salah satu media officer terbaik di Indonesia. Beliau dekat dengan wartawan dan selalu berusaha mengakomodir semua kebutuhan wartawan dari Malang. Sebelum kick off, dia sempat bilang mau mengobrol dengan saya. Saya gak berani janji, bukan sok sibuk tapi tiap pertandingan, saya malah tak bisa leluasa menonton atau punya waktu yang santai. Nah, saat ‘santai’ kami justru pada saat kick off sudah dimulai. Di pinggir lapangan, sambil menemaninya mengambil foto-foto Aremania yang sedang berdansa, dia mulai cengar-cengir ke saya. Topik kami selalu sama, tentang sepakbola Indonesia, tentang Persija dan Arema. Kami berdua mungkin memang bekerja di sebuah klub yang berada dalam liga yang sama. Dan jujur saja, banyak pihak yang ingin memanfaatkan kesempatan ini, apalagi situasi sekarang sedang ‘panas-panas’nya. Dan saya selalu meledek Arema bagai kembang desa yang sedang diperebutkan oleh banyak pemuda.
Siapa yang tak kenal Arema? Klub yang bahkan sudah dianggap seperti ‘agama’ di Malang ini merupakan salah satu daya tarik bagi setiap pihak yang ingin membuat sebuah kompetisi atau liga. Saya tak mau menyebut pihak mana, karena saya dan Mas Darmaji sejujurnya sangat netral. Kami lebih terfokus bagaimana bekerja seprofesional mungkin dan tak mengecewakan supporter. Persija dan Arema bisa menjadi besar karena dari pendukung, bukan hanya dari nilai materiil semata. Untuk apa punya klub kaya jika tak ada penggemar? Dan kami berdua memiliki pemikiran sama bahwa penggemar tak bisa tergantikan oleh uang. Karena disanalah terletak loyalitas. Uang belum tentu bisa menggantikan itu semua.
Dan, tiba saat mengambil line up, saya kecewa. Ternyata, line up pemain Arema bertuliskan tangan! Hal ini jauh berbeda jika pertandingan timnas atau bahkan jika saya bertandang ke Arema. Badan saya langsung lemas karena pasti teman-teman pers mulai meledek lagi, “Gimana sih nih panpel Persija?” Tapi, ya sudahlah. Yang penting, ADA. Kinerja panpel Persija memang selalu mendapat kritikan tajam. Tak sedikit orang yang complain kepada saya namun saya hanya bisa berkata saya bukan siapa-siapa disini. Saya hanya pekerja, belum mencapai level decision maker dalam panitia. Saya pun menyadari kondisi yang ada di dalam internal Persija. Jadi, ya serba salah. Sedih dan miris jika melihat keadaan seperti ini, klub selegenda Persija dan diurus kurang professional. Ya, ini dari kacamata saya pribadi yang terlibat di dalamnya.
Sebenarnya, permasalahan panpel di hampir seluruh klub di Indonesia itu sama. Dominasi senior yang masih berpikiran konservatif dan dengan zona nyamannya membuat mereka menciptakan sejuta alasan untuk tidak taat peraturan. Saya belajar Manual Liga Indonesia (masih mencari manual LPI nih, ada yang punya?). Manual Liga Indonesia yang kita anut mengacu pada UEFA. Tentunya dengan beberapa penyesuaian di Indonesia. Dan dimana-mana, yang namanya peraturan atau Manual pastinya ideal dan diciptakan sesempurna mungkin. Nah, uniknya, sebagian besar orang yang diamanatkan menjadi panitia penyelenggara pertandingan selalu merasa Manual adalah sebuah beban dan dianggap berlebihan. Sehingga mereka merasa malas dan dalihnya biasanya: Tak ada biaya. Itulah alasan pamungkas dan akhirnya banyak yang merugikan tim, baik tim tamu maupun tim tuan rumah.
Dan, akhirnya ketika sesi press conference, ada hal yang unik (lagi). Coach Arema, Miroslav Janu, benar-benar menunjukkan ke-BETE-annya dengan sengaja ngomong gak jelas. Sebagian besar wartawan mengeluh tidak mendengar dan kurang jelas, namun ia tetap saja berceloteh. Jelas sekali dia kecewa dengan pemainnya. Saya pun terpaksa mencatat dengan detil untuk bahan wartawan nantinya karena saya duduk pas di sebelahnya. Namun, saya sempat terhenti pada satu kalimatnya yang lirih. “Seandainya sebelum turun minum belum ada gol, kami pasti menang,” ucapnya sambil menunduk lesu.
Dan saat itulah saya baru sadar. Hanya tim yang bermental yang besar-lah yang bisa memenangkan pertandingan. Itulah sepakbola.
0 komentar:
Posting Komentar