Sabtu, 10 September 2011

Guru dan Dosen

Kisruh mengenai perilaku pelatih timnas akhir-akhir ini mulai menjadi 'konsumsi publik'. Berbagai pendapat pun mulai bermunculan, mulai dari entitas persepakbolaan maupun rakyat jelata mengenai siapa yang lebih baik atau pantas mengemban tugas berat tersebut. Ya, saya bilang berat karena melatih sebuah tim nasional adalah bagian dari 'tugas negara'. Bukan dalam artian bahwa tugas untuk negara asal pelatih, tapi ini adalah sebuah misi dimana ada harapan bangsa disitu.

Saya tak ingin memberikan komentar lagi mengenai siapa yang lebih baik, karena semua sangat relatif dan tak ada skala indikatornya. Dan setiap orang memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Dan saya selalu bilang SETIAP ORANG BERHAK BERPENDAPAT APA SAJA TENTANG TIMNAS. Siapapun, bahkan bukan WNI sekalipun. Tapi, di dunia komunikasi, setidaknya menurut Laswell, ada 5 komponen yang penting yaitu: komunikator, message, channel dan receiver (komunikan). Jadi, jika kelima komponen itu akan mempengaruhi bagaimana pesan (pendapat) kita dipersepsikan.

Yang menarik, karena semua merasa memiliki hak berpendapat, terkadang diskusi yang ada malah seperti 'tidak nyambung'. Ketika Riedl komen tentang timnas, ada yang pro dan ada yang kontra. Perdebatan mulai terjadi, dan antara satu sama lain banyak berselisih paham karena beda permasalahannya. Ada yang mempermasalahkan sang komunikator (Riedl), ada yang berargumentasi tentang isi pesan (komentarnya). Pada akhirnya, perdebatan hanya akan membuat lelah karena tak ada yang mau mengalah, padahal sudah gak nyambung dari awal.

Ketika saya ngobrol dengan salah satu teman jurnalis di sebuah media online, saya pada akhirnya menemukan sebuah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan perbedaan Riedl dan Wim. Yaitu, perbedaan antara guru dan dosen.

Definisi guru adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. (Wikipedia)


Hal yang sama saya temukan pada sosok Riedl. Ketika ia masuk dalam timnas, kualitas pemain jauh dari espektasinya. Namun, ia mampu mendidik para pemain untuk menciptakan sebuah dasar permainan sebuah tim. Di luar hal teknis, ia juga mampu menciptakan suasana yang kondusif agar para pemain tetap fokus pada tugasnya. Walaupun galak dan ketat aturan, nyatanya para pemain tidak merasa tertekan dan selalu berbaris masuk ke lapangan dengan kepala tegak. Sesuatu yang mungkin dianggap hal kecil bagi sebagian orang, tapi bagi saya sangat signifikan.

Lalu, apa dan siapa dosen itu? Definisi dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (Wikipedia)


Sosok inilah yang saya lihat dari seorang Wim. Wim bukanlah seorang guru karena ia memiliki espektasi para pemain seperti mahasiswa, yang seharusnya sudah mengetahui dasar permainan dan sudah 'dewasa' dalam melaksanakan tugas. Dan ketika hasil yang didapat jauh dari yang diharapkan oleh sang dosen (Wim), maka mahasiswa yang dianggap kurang berhasil.

Saya tidak ingin membandingkan siapa yang lebih baik atau mendiskreditkan antara guru dan dosen. Namun, bagi saya pribadi, tak semua orang bisa/mampu menjadi guru. Jiwa guru yang sebenarnya adalah mendidik. Sedangkan untuk jadi dosen, dibutuhkan syarat-syarat profesional. Itulah perbedaannya bagi saya.

Dan, jika boleh saya berpendapat..

Saya jauh lebih respek pada seorang guru...


Jakarta, 10 September 2011
ketika baru saja selesai berkomunikasi dengan seorang guru kehidupan dan sepakbola, Om Sugih Hendarto..



0 komentar:

Posting Komentar

Search