Jumat, 29 November 2013

Selamat Ulang Tahun, Sang Lelaki Tua

Ia diam.
Tak sepatah kata pun keluar.
Garis keriput terlihat jelas di kantong matanya.
Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan.
Begitu kata orang.
Ia mengamini itu.
Tidak semua orang tua dewasa dan tidak semua orang yang dewasa berumur tua. Tua dan dewasa adalah dua hal yang berbeda.
Dan umur 85 tahun bukanlah usia yang disebut muda untuknya.
Ia tua namun ia tak renta.

Ia mulai mengenang masa lalu. Dimana ia mulai dibangun.
Dibentuk oleh sekawanan pemuda. Berjuang melawan penjajah.
Sejak dari awal berdiri hingga sekarang selalu hidup bagaikan 'anak rantau' yang penuh perjuangan.
Sendiri. Berjuang untuk hidup. Terkadang diusir. Tak tahu rumah yang pasti dimana.
Terkadang difitnah. Didzolimi.
Namun, tetap tegar.

Banyak orang datang dan pergi.
Ia tidak pernah protes. Dia sudah terbiasa.
Dia sudah terbiasa hidup sendiri karena ia tahu ia tidak akan pernah sendirian.
Ketika mengangkat piala sepuluh kali dengan sukacita.
Ketika identitas warna kesukaannya terpaksa diubah.
Ketika rumahnya di Menteng menjadi rata dengan tanah sehingga ia harus mengungsi.
Ketika beberapa orang mengaku mencintai dan membentuk dirinya dalam jelmaan lain.
Ketika banyak pendukung yang tak pernah lelah membelanya
Ketika para ksatria terpaksa pergi meninggalkannya.
Ketika berbagai permasalahan seperti tak kunjung reda menghampirinya.
Ia tersenyum.
Ia bersyukur ia masih 'bernafas' dalam setiap hati para pecintanya.

Sudah delapan puluh lima. Di sepak bola Indonesia.

Sejak lima tahun lalu, saya mulai mengenal 'lelaki tua' ini.
Darinya saya belajar kehidupan.
Darinya saya memulai mengerti sepak bola.
Darinya saya paham akan cinta.
Darinya saya tahu apa namanya pengorbanan.
Darinya saya mengenal orang-orang hebat yang berdedikasi.

Saya memang bukan orang yang paham akan sejarah 'Sang Lelaki Tua'. Saya memang masih baru menyelami dia. Saya malu dengan orang-orang yang saya tahu memiliki kecintaan jauh lebih besar dan pengorbanan yang jauh lebih banyak. Saya tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Namun, saya tidak mau berhenti menggali dan berbuat. Yang saya tahu pasti, saya mencintai 'lelaki tua' ini dengan cara saya sendiri. Entah dorongan darimana sehingga terkadang keletihan dan air mata pun harus keluar, namun hati ini masih terikat dengan 'lelaki tua'. Sepertinya, takdir kami belum usai.

Terima kasih telah mengizinkan saya menyayangimu dan mengabdi untukmu.
Terima kasih untuk sekali lagi bisa berbuat sesuatu di hari ulang tahunmu, berbagi bersama merayakan 'sang lelaki tua'.
Mungkin suatu saat saya akan benar-benar harus pergi meninggalkanmu.
Namun, hanya maut yang membuat cinta ini tidak luntur.

Selamat ulang tahun, wahai lelaki tua ku.
Selamat tambah tua, kebanggaanku
Percayalah, akan ada delapan puluh lima tahun, seratus tahun atau bahkan seribu tahun untukmu berjaya.

Anyone can get old. All you have to do is live long enough ~ Groucho Marx

Selasa, 20 Agustus 2013

Rumah yang terlupakan

30 Juli 2013. Menginjakkan kaki di tanah Riau, tepatnya Pekanbaru dengan membawa mandat dari ibukota untuk melakukan verifikasi stadion. Adalah Stadion Kaharuddin Nasution, Rumbai yang diusung menjadi stadion pembukaan Divisi 2 untuk Grup C (berisikan tim Sumatra) dengan Rumbai FC yang mengajukan sebagai tuan rumah. Di Riau, ada beberapa stadion besar yang konon megah dan kapasitasnya besar yang digunakan saat PON 2012 yang lalu.

Tiba di Stadion Kaharuddin Nasution, atau yang lebih sering disebut sebagai Stadion Rumbai, cuaca panas dan terik matahari menyambut. Kira-kira pk. 14.00 waktu setempat saya terpaksa berjemur di tengah lapangan dan mengelilingi stadion sambil membawa borang verifikasi stadion. Memang tugas dari Badan Liga Sepakbola Amatir Indonesia salah satunya adalah meninjau kondisi stadion di daerah. Stadion Rumbai sebenarnya sudah masuk dalam level profesional, karena dipakai menjadi homebase PSPS Pekanbaru saat ini.



Setelah selesai dari Stadion Rumbai, kemudian bergerak ke kompleks Chevron dan diakhiri dengan melihat Stadion Utama Riau. Stadion dengan kapasitas + 40,000 yang pernah menjadi kandang tim nasional U22 ini pada akhirnya ditinggalkan dan tak terawat. Bahkan, di kompleks stadion malah sering dipergunakan untuk hal yang tidak seharusnya. Bahkan, ketika saya berada disana, saya melihat beberapa kejadian yang tidak layak.


13 Agustus 2013. Menginjakkan kaki di daerah istimewa. Meluncur ke Sleman untuk membantu persiapan pertandingan Indonesia U23. Adalah Stadion Maguwoharjo, Sleman yang siap menjamu kehadiran tim nasional untuk pertama kalinya. Rumput yang menggoda dan lampu yang genit pastinya membuat setiap orang yang datang ke stadion ini jatuh cinta. Tanpa membawa borang, namun persiapan stadion untuk pertandingan ternyata jauh dari sempurna. Tidak adanya single seat sebenarnya sudah menjadi masalah. Dilihat dari luar pun, keberadaan stadion ini seperti sebuah bangunan tua yang tak terawat.


Peninjauan stadion di Indonesia selalu terfokus pada kondisi lapangan (terutama rumput). Namun, jika dilihat lebih jauh, ukuran lapangan antar stadion bisa berbeda-beda. Belum lagi masalah tribun yang tak terawat. Ya, stadion yang sering disebut 'rumah ibadah' bagi para pecinta sepak bola sering kali terlupakan. Dibangun megah pada awalnya, namun berakhir seperti orang tua renta, usang dan terlupakan. Setidaknya, saat dibutuhkan dalam beberapa acara besar, stadion dibersihkan (dan umumnya hanya tribun atau sudut tertentu). Rumput lapangan yang sudah botak sengaja ditumbuhi kembali. Atau bahkan diberikan cat warna di dinding agar terlihat baru.

Saya selalu teringat ucapan guru saya jika sedang membahas stadion. Kompetisi profesional mengalami permasalahan akses dari satu daerah ke daerah lain menjadi tidak mudah, apalagi Indonesia bagian timur. Ketika saya dulu di Persija, kami terlena dengan 'rumah' yang kami pergunakan, yaitu Gelora Bung Karno. Ya, tentu saja karena sudah standar internasional (walaupun terus terang masih banyak yang jauh dari standar, akses dari locker room ke lapangan kurang memadai). Jika dibandingkan dengan stadion lain, tentu tidak tepat. Ketika keluhan tentang stadion klub W (dan beberapa klub juga mengeluhkan hal yang sama), maka jawaban guru saya adalah: "dengan kompetisi yang sudah bergulir lima tahun, akselerasi stadion yang paling cepat adalah stadion homebase klub W. Sementara J terkadang masih harus mencari rumah lagi." Saya diam dan akhirnya jadi berpikir itu adalah jawaban yang paling tepat.

Di dalam pekerjaan saya, saya sering berkunjung ke berbagai stadion di Indonesia. Mulai dari yang tertua (Gajayana), internasional (Gelora Bung Karno), dan masih banyak lagi. Memang belum semuanya dan saya memang bercita-cita mengunjungi seluruh stadion di Indonesia. Setidaknya, saya ingin mengenal berbagai macam 'rumah ibadah' yang selalu senantiasa menunggu kehadiran pecinta sepak bola. Sangat sedih ketika melihat rumah dicoret-coret oleh oknum yang tak bertanggung jawab, atau terkadang tercium bau tidak sedap, atau bahkan digunakan untuk hal yang tidak pantas.

Tidak salah membangun rumah, baik sederhana maupun megah. Namun, ketika kita tidak bisa merawatnya, rumah tersebut menjelma seperti hantu. Yang terasa hampa dan membayangi, namun tetap ada tanpa harapan.

Semoga kita tidak pernah melupakan 'rumah ibadah' kita sendiri.

Senin, 08 April 2013

Whatever you do, work heartily

Seminggu lalu saya bertemu dengan seorang mentor. Niat hati ingin mengobrol dan berdiskusi panjang lebar. Namun ternyata berubah menjadi sebuah penawaran. Tawaran untuk bekerja dan berdedikasi ke dalam lingkungan baru. Saya terdiam. Sejujurnya, saya tidak pernah mengharapkan ini. Diskusi kami tentang persepakbolaan sungguh menyenangkan dan saya banyak belajar, bukan hanya tentang sepak bolanya saja, namun tentang kehidupan. Dan ketika itu menjadi sebuah tawaran, saya bingung.

Sejak 2008, saya mulai memasuki lingkungan ini. Dengan segala kenaifan dan ketidaktahuan, saya banyak belajar. Dan saya merasa saya menjadi dewasa dan besar karena banyak orang yang mendukung dan mau dengan sabar mengajarkan ke saya, baik langsung maupun tidak langsung.

Dunia dan lingkungan yang ajaib bernama sepak bola nasional. Saya hanya sebutir debu dari dunia yang kompleks ini. Jika banyak orang yang tidak tahan dan jengah di lingkungan ini, ya saya hanya bisa berkata saya tinggal bersama mereka. Ini hidup kedua saya, tentu setelah keluarga. Dan tentunya pula, saya tidak mau menjadikan lingkungan ini hidup saya satu-satunya.

Lalu, berbagai tantangan datang. Ada sikap yang harus diambil. Sesungguhnya, saya benci berselisih. Sedari kecil saya tumbuh di tengah ketidaksukaan antar sesama orang, baik orang tua saya, keluarga dan sekitar. Dan saya selalu merasa saya korban. Karena itu, saya menghindari perselisihan. Walaupun saya tidak menampik, terkadang ketidaksukaan itu ada. Tapi sejujurnya, saya sering menangis ketika harus mengalami tidak suka atau tidak disukai.

Sebuah titik balik paling penting dan menyakitkan adalah ketika harus keluar dari klub yang saya cintai. Sedih itu masih ada, dan akan selalu ada. Apalagi, kini sebagai orang yang hanya bisa mendukung dari luar, menempatkan posisi sebagai yang tidak boleh tahu banyak, membuat derita karena tidak bisa membantu dengan banyak juga.

Namun, Tuhan tidak membiarkan saya terlarut dalam pikiran tersebut. Ada tugas baru yaitu menyelami sepak bola amatir, yang sering dilupakan bahkan dianggap hina oleh kalangan tertentu. Tugas baru, lingkungan baru dan tantangan baru. Saya mulai menikmati ini semua. Disinilah pilar penting sepak bola negeri ini. Dan bagian yang menyenangkan adalah saya bisa melihat esensi murni yaitu pembinaan.

Banyak yang bertanya apa yang saya dapat dari ini semua. Nyaris tak ada prestasi yang lebih, dibanding mungkin bekerja di tempat lain atau tidak di tempat ini. Saya tersenyum. Sesungguhnya, saya tidak pernah mencari rejeki di lingkungan ini. Tuhan mengalirkan berkah untuk saya dari tempat lain, dari membantu usaha keluarga, dari hasil usaha saya sendiri dan dari investasi. Hingga saat ini, puji Tuhan saya tidak pernah berkekurangan. Saya tidak pernah diajarkan serakah oleh ibu, saya selalu diperingatkan harus bersyukur oleh ayah saya. Dan itu menjawab banyak pertanyaan tadi, mengenai apakah saya bisa hidup dari sepak bola. Walaupun memang saya harus memutar otak lagi karena harus membagi pikiran ke pekerjaan, selain ke sepak bola ini.

Dan tibalah di suatu masa. Tepat di minggu lalu. Tantangan baru. Yang entah apa lagi yang Tuhan ingin saya jawab dan kerjakan.

Saya percaya, saya ditaruh dan diberi rasa cinta di lingkungan ini, karena pekerjaan dariNya. Bukan sok religius, tapi selain karakter dan pikiran, iman saya juga bertumbuh. Di tengah apa yang mereka sebut penjahat, saya bisa masih menunjukkan perilaku sebagai anak Tuhan.

Seperti yang tertulis di Alkitab:
Whatever you do, work heartily, as for the Lord and not for men (Kolose 3:23)

Selasa, 12 Februari 2013

Holland Trip Desember 2012


Sejujurnya, ini pertama kalinya saya melakukan perjalanan ke Eropa. Dan yang menyenangkan adalah saya pergi sendirian! Tujuan utama saya adalah mengikuti konferensi sepak bola bernama International Football Development Conference 2012 yang berlangsung 12-13 Desember di RAI Conferention Centre, Amsterdam. Pembicaranya ada dari perwakilan FIFA, UEFA, KNVB, DFB, Johan Cruyff Foundation dan bahkan mantan pemain Liverpool yang menjadi direktur teknik FFF, Gerard Houllier juga membawakan satu sesi tentang karakteristik dalam pengembangan pembinaan usia muda.

Kata-kata mengenai pembinaan sering hanya menjadi ‘citra’ belaka di Indonesia. Namun, tidak bagi para peserta dan pembicara di konferensi ini. Saya sungguh belajar banyak, bagaimana untuk bisa total membangun sebuah pondasi sepak bola yang kuat, kuncinya adalah di pembinaan. Bahkan, Johan Cruyff Foundation juga mengembangkan skema untuk membentuk talenta pemain yang berkarakter. Dengan filosofi  “football is about quality and result. Result without quality is boring, quality without results makes no sense”, mereka menyadari pentignnya intelegensia agar pemain bukan hanya sebagai ‘robot’ namun ‘decision maker’ baik di dalam lapangan, maupun di kehidupan sehari-hari. Tentunya sulit membahas hal seperti ini di Indonesia.. Hehe..

Selesai berkonferensi ria, saya langsung mengepak barang menuju Belgia. Vise menjadi tujuan selanjutnya. Demi menyaksikan salah satu klub yang kebetulan dimiliki oleh orang Indonesia, dan ada pemain-pemain muda tanah air disana, saya menempuh perjalanan dengan kereta sekitar 2 jam. Bertemu Syamsir Alam, Yandi Sofyan dan Alvin, tentu membuat hati senang. Saya memberikan 3 jersey pemain favorit mereka di Persija, Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan. Saya juga berkesempatan menonton langsung pertandingan CS Vise vs FC Sint Niklaas yang berakhir dengan skor 0-0, bahkan saya diajak untuk gala dinner dengan manajemen CS Vise. Dan senangnya, saya dioleh-olehi jersey CS Vise milik Syamsir Alam.



Kembali ke Belanda, saya langsung mengejar waktu karena tidak ingin melewatkan sebuah pertandingan besar. Memang dari awal datang ke negeri kincir ini, saya agak kecewa karena Ajax Amsterdam sedang menjalani partai tandang. Namun, kekecewaan saya malah membuahkan kebahagiaan karena bertemu dengan salah seorang jurnalis sepak bola sekaligus yang sering membantu pemain keturunan, yaitu mas Eka Tanjung. Perkenalan di sosial media akhirnya berlanjut dengan kopi darat dan saya dibelikan akreditasi untuk menonton NEC Nijmegen vs PSV Eindhoven. Jadwal main yang malam (kickoff 19:45) membuat Goffert Stadium penuh karena sepak bola menjadi hiburan utama di kota Nijmegen, apalai lawannya juga bagus. Saya berkesempatan masuk ke dalam media room yang disatukan dengan press conference room. Mas Eka yang baik hati memberikan saya tiket nonton dan akreditasi sehingga saya bisa ikut di konferensi pers atau bahkan bisa mewawancarai pemain/pelatih. Dan, saya berhasil foto bersama salah satu pemain idola saya: Mark van Bommel!



Menjelang pulang, saya mampir ke Ajax Arena dan Ajax Experience. Surga bagi fans Ajax karena disini semua museum dan memorabilia tim yang terbentuk dari tahun 1900 ini. Saya terkagum dengan visi dan misi akademi Ajax, histori dan bagaimana Ajax menciptakan legenda. Setelah itu, tidak lupa saya mengunjungi Heineken Experience. Sebagai museum merek bir yang identik sebagai sponsor sepak bola, tentunya saya tidak lupa mengabadikan foto-foto di UEFA Champions League Wall of Fame. Tidak lupa dengan memakai syal Persija Jakarta. Hehe..


Banyak pelajaran berharga mengenai sepak bola di negeri tulip ini. Semoga suatu saat kita tidak kalah dengan Belanda! Hup Hup Indonesia Hup! J 
Search