Di suatu pagi di bulan Mei 2014, dering ponsel saya
berbunyi. Sebuah nama memanggil dan sempat saya ragu untuk mengangkat. Nama
tersebut terdaftar di kontak saya sebagai Coach Suharno. Ada apa gerangan? Mengapa
pelatih Arema menelepon pagi-pagi? Saya langsung berpikir ada sesuatu mendesak terkait urusan pertandingan.
Nyatanya, ia menelepon hanya ingin bercerita. Walau ada
beberapa pertanyaan, namun total 2 jam lebih kami habiskan hanya untuk
mengobrol baik bertemakan sepak bola maupun tentang kota Malang atau Jakarta.
Sejak saat itu, nyaris dalam sebulan, pasti kami saling menanyakan kabar. Entah
untuk membahas bola atau hanya saling melempar guyonan, istilah bahasa Jawa
yang selalu ia sebut. Dan bahkan, saya jadi belajar bahasa Jawa dari beliau.
Pernah suatu kali, saya agak menyentilnya dengan pertanyaan
iseng.
“Coach, gak mau pindah ke tempat lain?”
“Maksudnya? Pindah nang endi?”
“Ya ndak tau. Yang bisa bikin coach seneng aja.”
Kemudian dia tertawa. Dan menjawab
“Sampean pasti maksudnya kenapa saya masih betah disini toh.
Banyak orang yang nilai saya ndak bisa apa-apa disini. Tapi, asal kita beneran
kerjo dan hati kita senang ya biarin aja kata orang, Viola. Gusti Allah pasti juga tahu..”
Sosok yang rendah hati dan penuh tawa. Tak pernah saya
temukan pesimisme atau bahkan kesedihan. Ia hanya berpikir sederhana, namun tak
pernah meremehkan.
Pertemuan terakhir kami adalah saat April lalu di Malang.
Sehari pasca partai perdana Arema melawan Persija di QNB League, skuat Singo
Edan berlatih di Stadion Gajayana. Pasca sesi latihan, beliau mengajak saya
makan bersama di sebuah restoran yang menyajikan menu kesukaannya: ayam goreng.
Dan butuh beberapa kali memohon agar saya tidak disuruh menghabiskan semua
pesanannya yang banyak itu.
Kala itu, ia dengan antusias menceritakan anaknya yang
mengikuti jejaknya berkarier di persepakbolaan nasional dengan menjadi dokter
tim Bali United. Juga kebanggaannya dekat dengan Aremania.
Keesokannya ketika saya kembali ke ibukota, beliau mengecek
keberadaan saya apakah sudah tiba dengan selamat. Sebuah perhatian kecil dari
seorang teman yang merupakan sosok pelatih berhati besar.
Sebulan kemudian, ketika konflik sepak bola meruncing dan
kompetisi pun terpaksa dihentikan, beliau kembali menelepon menanyakan kabar.
Entah darimana, ia kemudian menduga bahwa keadaan tim yang saya banggakan
memasuki masa-masa sulit kembali. Sebuah nasihat pun diberikannya. Nasihat yang
menurut saya saat itu sangat formatif dan saya hanya meringankan ucapan saya
dengan kalimat, “iya, coach.. iya coach.. Terima kasih.”
Dan.. Itulah telepon terakhir darinya..
Saat ulang tahun Arema, saya hanya menyempatkan memberi
selamat via SMS. Dan dijawab, “Terima kasih, dulurku. Piye kabare sampean?”
Karena sibuk, saya lupa membalasnya.
Hingga malam tadi, seorang sahabat Aremania mengabari saya
bahwa pelatih berhati besar ini meninggalkan kita semua.
Saya pun langsung mencari inbox SMS. Pesan dari beliau masih
ada seperti menunggu jawaban. Setengah mengutuki diri sendiri, saya berusaha
mengingat-ingat apa isi pembicaraan di telepon terakhir. Nasihat yang saya
sempat abaikan.
“Jangan putus asa, Viola. Walau kadang berat, dibawa ringan.
Demi sepak bola.”
Selamat jalan, pelatih Suharno.
Terima kasih untuk menyadarkan bahwa seorang pelatih tak
harus selalu dipanggil coach untuk
dihormati. Tak harus selalu membawa banyak trofi untuk dipuja. Tapi cukup
dengan perhatian sebagai seorang sahabat. Bagi suporter. Bagi orang-orang yang
mungkin dianggap sebelah mata. Bagi semua insan sepak bola nasional. Bagi saya.
Semoga di surga, ada lapangan sejuk layaknya bumi Arema yang engkau cintai.
0 komentar:
Posting Komentar