Rabu, 19 Agustus 2015

Selamat Jalan, Pelatih Berhati Besar!


Di suatu pagi di bulan Mei 2014, dering ponsel saya berbunyi. Sebuah nama memanggil dan sempat saya ragu untuk mengangkat. Nama tersebut terdaftar di kontak saya sebagai Coach Suharno. Ada apa gerangan? Mengapa pelatih Arema menelepon pagi-pagi? Saya langsung berpikir ada sesuatu mendesak terkait urusan pertandingan.

Nyatanya, ia menelepon hanya ingin bercerita. Walau ada beberapa pertanyaan, namun total 2 jam lebih kami habiskan hanya untuk mengobrol baik bertemakan sepak bola maupun tentang kota Malang atau Jakarta. Sejak saat itu, nyaris dalam sebulan, pasti kami saling menanyakan kabar. Entah untuk membahas bola atau hanya saling melempar guyonan, istilah bahasa Jawa yang selalu ia sebut. Dan bahkan, saya jadi belajar bahasa Jawa dari beliau.

Pernah suatu kali, saya agak menyentilnya dengan pertanyaan iseng.

“Coach, gak mau pindah ke tempat lain?”
“Maksudnya? Pindah nang endi?”
“Ya ndak tau. Yang bisa bikin coach seneng aja.”

Kemudian dia tertawa. Dan menjawab

“Sampean pasti maksudnya kenapa saya masih betah disini toh. Banyak orang yang nilai saya ndak bisa apa-apa disini. Tapi, asal kita beneran kerjo dan hati kita senang ya biarin aja kata orang, Viola. Gusti Allah pasti juga tahu..”

Sosok yang rendah hati dan penuh tawa. Tak pernah saya temukan pesimisme atau bahkan kesedihan. Ia hanya berpikir sederhana, namun tak pernah meremehkan.

Pertemuan terakhir kami adalah saat April lalu di Malang. Sehari pasca partai perdana Arema melawan Persija di QNB League, skuat Singo Edan berlatih di Stadion Gajayana. Pasca sesi latihan, beliau mengajak saya makan bersama di sebuah restoran yang menyajikan menu kesukaannya: ayam goreng. Dan butuh beberapa kali memohon agar saya tidak disuruh menghabiskan semua pesanannya yang banyak itu.

Kala itu, ia dengan antusias menceritakan anaknya yang mengikuti jejaknya berkarier di persepakbolaan nasional dengan menjadi dokter tim Bali United. Juga kebanggaannya dekat dengan Aremania.

Keesokannya ketika saya kembali ke ibukota, beliau mengecek keberadaan saya apakah sudah tiba dengan selamat. Sebuah perhatian kecil dari seorang teman yang merupakan sosok pelatih berhati besar.

Sebulan kemudian, ketika konflik sepak bola meruncing dan kompetisi pun terpaksa dihentikan, beliau kembali menelepon menanyakan kabar. Entah darimana, ia kemudian menduga bahwa keadaan tim yang saya banggakan memasuki masa-masa sulit kembali. Sebuah nasihat pun diberikannya. Nasihat yang menurut saya saat itu sangat formatif dan saya hanya meringankan ucapan saya dengan kalimat, “iya, coach.. iya coach.. Terima kasih.”

Dan.. Itulah telepon terakhir darinya..

Saat ulang tahun Arema, saya hanya menyempatkan memberi selamat via SMS. Dan dijawab, “Terima kasih, dulurku. Piye kabare sampean?” Karena sibuk, saya lupa membalasnya.

Hingga malam tadi, seorang sahabat Aremania mengabari saya bahwa pelatih berhati besar ini meninggalkan kita semua.

Saya pun langsung mencari inbox SMS. Pesan dari beliau masih ada seperti menunggu jawaban. Setengah mengutuki diri sendiri, saya berusaha mengingat-ingat apa isi pembicaraan di telepon terakhir. Nasihat yang saya sempat abaikan.

“Jangan putus asa, Viola. Walau kadang berat, dibawa ringan. Demi sepak bola.”

Selamat jalan, pelatih Suharno.


Terima kasih untuk menyadarkan bahwa seorang pelatih tak harus selalu dipanggil coach untuk dihormati. Tak harus selalu membawa banyak trofi untuk dipuja. Tapi cukup dengan perhatian sebagai seorang sahabat. Bagi suporter. Bagi orang-orang yang mungkin dianggap sebelah mata. Bagi semua insan sepak bola nasional. Bagi saya.

Semoga di surga, ada lapangan sejuk layaknya bumi Arema yang engkau cintai.

0 komentar:

Posting Komentar

Search